Lalu seperti apakah adab berjalan yang
diajarkan Islam itu? Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada secara rinci
menjelaskan adab berjalan dalam kitabnya Mausuu'tul Aadaab al Islamiyah yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Ensiklopedi Adab Islam Menurut Alquran
dan Sunah. Berikut adalah adab berjalan sesuai tuntunan Islam:
Pertama , niat yang benar. Seorang Muslim hendaklah berniat yang benar ketika hendak berjalan. Niatkan berjalan itu untuk tujuan yang baik itu sebagai ibadah dengan mengharapkan ridha dari Allah SWT. "Apabila berjalan hendak ke masjid, niatkan untuk beribadah kepada Allah. Jika berjalan untuk bekerja, niatkan untuk mencari rezeki yang baik dan halal untuk keluarga," tutur Syekh Sayydi Nada.
Bahkan, ketika akan berjalan untuk suatu permainan yang diperbolehkan, kata dia, hendaklah berniat untuk mencari penyegaran agar jiwa kembali segar dan bersemangat untuk beribadah. Menurut Syekh Sayyid Nada, dengan menghadirkan niat yang benar, maka akan mencegah seorang Muslim dari berjalan untuk sesuatu yang haram.
Kedua , tak berjalan untuk suatu yang haram. Sesungguhnya, kedua kaki akan memberi kesaksian berbicara pada hari kiamat. Untuk itu, hendaklah menghindar dari berjalan untuk sesuatu yang dilarang agama. Sebab, setiap ayunan langkah kita menuju sesuatu yang diharamkan akan berbuah dosa. Ketiga, bersikap tawadhu dan tak sombong ketika berjalan.
Ketiga , bersikap tawadhu dan tidak sombong. Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Al Israa ayat 37: "Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung." Dalam surah Lukman ayat 18, Allah SWT berfirman: "… Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi de ngan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." Ibnu Katsir mengingatkan agar seorang Muslim membanggakan diri, sombong, takabur dan keras kepala, karena Allah akan murka.
Keempat , berjalan normal. Hendaklah seseorang berjalan normal, yakni pertengahan antara berjalan terlalu lambat dan terlalu cepat. Ibnu Katsir menjelaskan, berjalan normal adalah berjalan secara biasa. Tidak terlalu cepat dan tak terlalu lambat. "Pertengahan di antara ke duanya."
Kelima , tak menoleh ke belakang. Dalam Shahiihul Jaami dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW apabila berjalan tidak menoleh ke belakang. Menoleh ke belakang saat berjalan dapat membuat seseorang bertabrakan, tergelincir serta bisa juga dicurigai oleh orang yang melihatnya.
Keenam , tak berpura-pura lemah ketika berjalan. Berpura-pura lemah ketika berjalan dengan maksud untuk dilihat orang lain dilarang dalam Islam. Selain itu, juga tak boleh berpura-pura sakit ketika berjalan, karena dapat mengundang kemarah an Allah SWT.
Ketujuh , berjalan dengan kuat. Setiap Muslim harus berjalan dengan tegap seperti yang dicontohkan Nabi SAW. Menurut Syekh Sayyid Nada, cara berjalan seperti Rasulullah SAW lebih dekat kepada roh Islam. "Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah SWT, dibandingkan mukmin yang lemah," tuturnya.
Kedelapan , menghindari cara berjalan yang tercela. Contoh berjalan yang tercela itu antara lain; berjalan dengan sombong dan takabur, berjalan dengan gelisah dan gemetaran; berjalan dengan loyo seperti orang sakit; berjalan meniru lawan jenis; berjalan terburu-buru dan terlalu cepat; serta berjalan seakan-akan melompat.
Kesembilan , tidak berjalan dengan satu sandal. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila salah seorang dari kalian memakai sandal, maka hendaknya memulai dari yang kanan. Apabila ia melepasnya, maka mulailah dari yang kiri. Pakailah kedua-duanya atau lepaskanlah kedua-duanya."
Kesepuluh , bertelanjang kaki sesekali waktu. Bertelanjang kaki termasuk tanda tawadhu di hadapan Allah SWT. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Nabi SAW memerintahkan kami agar kadang kala bertelanjang kaki." (HR Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa'i). Menurut Syekh Sayyid Nada, bertelanjang kaki adalah perkara yang baik, syaratnya tidak terdapat najis pada tanah serta sesuatu yang dapat menyakiti kedua telapak kaki.
Pertama , niat yang benar. Seorang Muslim hendaklah berniat yang benar ketika hendak berjalan. Niatkan berjalan itu untuk tujuan yang baik itu sebagai ibadah dengan mengharapkan ridha dari Allah SWT. "Apabila berjalan hendak ke masjid, niatkan untuk beribadah kepada Allah. Jika berjalan untuk bekerja, niatkan untuk mencari rezeki yang baik dan halal untuk keluarga," tutur Syekh Sayydi Nada.
Bahkan, ketika akan berjalan untuk suatu permainan yang diperbolehkan, kata dia, hendaklah berniat untuk mencari penyegaran agar jiwa kembali segar dan bersemangat untuk beribadah. Menurut Syekh Sayyid Nada, dengan menghadirkan niat yang benar, maka akan mencegah seorang Muslim dari berjalan untuk sesuatu yang haram.
Kedua , tak berjalan untuk suatu yang haram. Sesungguhnya, kedua kaki akan memberi kesaksian berbicara pada hari kiamat. Untuk itu, hendaklah menghindar dari berjalan untuk sesuatu yang dilarang agama. Sebab, setiap ayunan langkah kita menuju sesuatu yang diharamkan akan berbuah dosa. Ketiga, bersikap tawadhu dan tak sombong ketika berjalan.
Ketiga , bersikap tawadhu dan tidak sombong. Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Al Israa ayat 37: "Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung." Dalam surah Lukman ayat 18, Allah SWT berfirman: "… Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi de ngan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." Ibnu Katsir mengingatkan agar seorang Muslim membanggakan diri, sombong, takabur dan keras kepala, karena Allah akan murka.
Keempat , berjalan normal. Hendaklah seseorang berjalan normal, yakni pertengahan antara berjalan terlalu lambat dan terlalu cepat. Ibnu Katsir menjelaskan, berjalan normal adalah berjalan secara biasa. Tidak terlalu cepat dan tak terlalu lambat. "Pertengahan di antara ke duanya."
Kelima , tak menoleh ke belakang. Dalam Shahiihul Jaami dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW apabila berjalan tidak menoleh ke belakang. Menoleh ke belakang saat berjalan dapat membuat seseorang bertabrakan, tergelincir serta bisa juga dicurigai oleh orang yang melihatnya.
Keenam , tak berpura-pura lemah ketika berjalan. Berpura-pura lemah ketika berjalan dengan maksud untuk dilihat orang lain dilarang dalam Islam. Selain itu, juga tak boleh berpura-pura sakit ketika berjalan, karena dapat mengundang kemarah an Allah SWT.
Ketujuh , berjalan dengan kuat. Setiap Muslim harus berjalan dengan tegap seperti yang dicontohkan Nabi SAW. Menurut Syekh Sayyid Nada, cara berjalan seperti Rasulullah SAW lebih dekat kepada roh Islam. "Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah SWT, dibandingkan mukmin yang lemah," tuturnya.
Kedelapan , menghindari cara berjalan yang tercela. Contoh berjalan yang tercela itu antara lain; berjalan dengan sombong dan takabur, berjalan dengan gelisah dan gemetaran; berjalan dengan loyo seperti orang sakit; berjalan meniru lawan jenis; berjalan terburu-buru dan terlalu cepat; serta berjalan seakan-akan melompat.
Kesembilan , tidak berjalan dengan satu sandal. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila salah seorang dari kalian memakai sandal, maka hendaknya memulai dari yang kanan. Apabila ia melepasnya, maka mulailah dari yang kiri. Pakailah kedua-duanya atau lepaskanlah kedua-duanya."
Kesepuluh , bertelanjang kaki sesekali waktu. Bertelanjang kaki termasuk tanda tawadhu di hadapan Allah SWT. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Nabi SAW memerintahkan kami agar kadang kala bertelanjang kaki." (HR Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa'i). Menurut Syekh Sayyid Nada, bertelanjang kaki adalah perkara yang baik, syaratnya tidak terdapat najis pada tanah serta sesuatu yang dapat menyakiti kedua telapak kaki.
Di antara
adab-adab berkendaraan dan berjalan:
1. Larangan Angkuh Ketika Berjalan:
Angkuh ketika
berjalan termasuk dari sifat-sifat tercela yang tumbuh dari kesombongan dan
‘ujub terhadap diri sendiri. Dan seorang yang beriman di antara sifat-sifatnya
adalah tawadhu’ (rendah diri) dan al-istikanah (tenang) tidak ada sifat al-kibr
(sombong) dan al-ghathrasah (menonjolkan diri).
Adab Berkendaraan Dan Berjalan
Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan Dialah Dzat yang telah
menciptakan segala sesuatu bagi kalian slaing berpasang-pasangan, da menjadikan
bagi kalian apa yang kalian kapal, binatang ternak dan tunggangan yang kalian
kendarai. Agar kalian duduk diatas punggungnya kemudian kalian mengingat nikmat
Rabb kalian apabila kalian telah brada diatasnya, dan kalian mengucapkan:
Subhanallahi alladzii sakhkhara lanaa hadzaa wa maa kunnaa lahu muqribiin wa
innaa ilaa Rabbinaa lamunqalibuun – Maha Suci Rabb kami yang telah menundukkan
semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak sanggup untuk menguasainya.
Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.”
( Az-Zukhruf : 12-13 ).
Di antara
adab-adab berkendaraan dan berjalan :
1. Larangan Angkuh Ketika Berjalan:
Angkuh ketika
berjalan termasuk dari sifat-sifat tercela yang tumbuh dari kesombongan dan
‘ujub terhadap diri sendiri. Dan seorang yang beriman di antara sifat-sifatnya
adalah tawadhu’ (rendah diri) dan al-istikanah (tenang) tidak ada sifat al-kibr
(sombong) dan al-ghathrasah (menonjolkan diri).
Sifat al-kibr
(sombong) adalah selendang Allah maka barang siapa yang merampasnya niscaya
Allah akan mengadzabnya. Dari Abu Sa’id Al-khudri dan Abu Hurairah radhiallahu
‘anhuma, keduanya mengatakan: Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Kemuliaan
adalah sarung Allah, dan kesombongan adalah selendangnya, barang siapa yang
merampasnya dariku niscaya saya akan mengadzabnya”.
[ HR. Muslim (2620) dan lafazh hadits ini lafazh beliau, Ahmad ((8677) Abu Daud
(4090) dan Ibnu Majah (4173)]
Dan Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ketika
seseorang berjalan dengan kain hullah yang mengagumkan dirinya rambutnya
tersisir rapi terurai sampai pada telinganya. Apabila Allah membenamkannya maka
dia akan berteriak terus sampai hari kiamat”.
[HR. Al-Bukhari (5789) Muslim (2088) Ahmad (7574) dan Ad-Darimi (437)]
Keangkuhan
tidaklah ada kecuali pada tempat-tempat peperangan untuk membuat marah
musuh-musuh, sebagaimana Abu Dujanah lakukan ketika menginkatkan imamah
–miliknya- yang berwarna merah kemudian mulailah dia berjalan dengan angkuh
diantara dua barisan yang saling berhadapan. Maka ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melihatnya berjalan dengan angkuh, beliau bersabda, “Sesungguhnya jalan seperti itu
adalah jalan yang Allah murkai kecuali pada tempat seperti ini”.
2. Cara Jalan Yang Paling Baik Dan Yang Paling Sempurna:
Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan
takaffa’a takaffu’an (1) (condong ke depan) [Muslim (2330)]. Beliau adalah
manusia yang paling cepat jalannya, dan yang paling baik dan paling tenang.
Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu berkata saya tidak pernah orang yang paling gagah dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan matahari berjalan di
wajahnya, dan saya tidak pernah melihat seseorang yang paling cepat jalannya
daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan akan bumi terlipat
untuknya, dan sesungguhnya kami mengusahakan diri-diri kami dan sesungguhnya
beliau tidak terlihat memaksakannya. [At-Tirmidzi (3647)]
Dari Ali bin Abi
Thalib berkata : Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan
beliau condong ke depan seakan-akan beliau turun dari shabab (2) [Dan di dalam
riwayat Abu Daud (seakan akan beliau yahwi (jatuh) di dalam shabab) (4864)]
Sekali waktu Ali
bin Thalib pernah berkata, “Apabila
beliau berjalan beliau taqla’ (3) (turun ke bawah).”
[At-Tirmidzi (3638)]
Saya katakan:
Makna At-Taqallu’ : ketinggian pada tanah secara keseluruhan, sebagaimana
seseorang yang miring dari bagian daerah yang curam/miring. Jalan seperti ini
adalah jalannya para ulul azmi (orang-orang yang punya azam/tekad) dan
mempunyai himmah (keinginan yang kuat) dan keberanian, dan jalan seperti ini
adalah jalan yang paling sempurna dan lebih memberikan ketenangan pada anggota
badan, dan yang lebih jauh dari jalan seorang yang marah, kehinaan dan lemas.
[Zaad Al-Ma'aad (1/167-177)]
Faedah: Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan di dalam Al-Hadyi ada sepuluh macam cara berjalan :
Yang pertama : yang paling baik dan yang paling sempurna adalah berjalan
at-takaffu’ dan at-taqallu’, seperti keadaan orang yang turun dari ash-shabab
(tempat yang miring/curam), dan cara jalan ini adalah cara jalannya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua : berjalan dengan gelisah dan sempoyongan laksana seekor onta
yang gelisah. Cara jalan ini cara jalan yang tercela –juga- yang menunjukkan
kekurangan akal orang yang melakukannya. Terlebih lagi apabila orang tersebut
sering menengok ke kiri dan ke kanan ketika berjalan.
Ketiga : Berjalan lemas dan berjalan selangkah demi selangkah,
seumpama sepotong kayu yang diangkut, dan cara jalan ini adalah cara jalan yang
tercela dan jelek.
Keempat : Jalan dengan dipercepat
Kelima : ar-ramal, cara jalan yang paling cepat disertai langkah
yang saling berdekatan, dan disebut juga dengan al-khabab.
Keenam : an-naslaan, adalah jalan sambil berjinjit kecil yang tidak
mengganggu orang yang berjalan.
Ketujuh : al-khauzali, adalah jalan berlenggak-lenggok, yaitu jalan
yang disebut ada padanya kelemah-lembutan dan kebanci-bancian.
Kedelapan : al-qahqaraa, yaitu jalan ke belakang.
Kesembilan : al-jamzaa, yaitu orang berjalan sambil melompat.
Kesepuluh : at-tabakhtur, yaitu jalan orang yang ‘ujub dan sombong
[(1/167-169)]
3. Makhruhnya Berjalan Dengan Satu Sandal. [Telah berlalu pembahsaan tentang hal ini pada bab adab
berpakaian dan berhias]
4. Termasuk Sunnah Bertelanjang Kaki Kadang-Kadang.
Berdasarkan
perkataan Fudhalah radhiallahu ‘anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami agar kadang-kadang bertelanjang kaki (ketika berjalan).”
[HR. Ahmad (23449), Abu Daud (4160) Al-Albani menshahihkannya]
Dan di dalam
hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, tentang ziarahnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Sa’ad bin Ubadah, beliau berkata : ” Ketika Nabi berdiri kami ikut
berdiri bersama beliau dan kami sekitar sepuluh orang tidak ada pada kami
sandal tidak pula khuf dan tutup kepala/kopyah dan tidak pula gamis kami
berjalan di atas tanah yang becek itu….al-hadits”.
[HR. Muslim (925)]
Jalan dengan
bertelanjang kaki mengandung hikmah untuk menghilangkan kebiasaan seseorang
merasakan nikmat dengan seringnya bersandal. (4)
5. Pemilik Kendaraan Lebih Berhak Berada di bagian Depan
kendaraannya:
Barang siapa yang
memiliki sesuatu maka dia lebih berhak atas sesuatu tersebut dari orang
selainnya. dan mengendarai kendaraan yang hidup atau yang benda mati hukumnya
sama, maka pemilik onta atau kuda atau (mobil) lebih berhak berada di depan
kendaraannya dan didahulukan daripada yang lainnya. Maka tidaklah seseorang
mengendarai kendaraannya dibagian depan kecuali dengan izin pemiliknya.
Hadits Buraidah
radhiallahu ‘anhu menjelaskan hal tersebut dan beliau berkata : “Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berjalan datang seorang laki-laki berserta keledai, orang itu
berkata : wahai Rasulullah naiklah. Orang itu mundur ke belakang, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “ Tidak kamu yang lebih berhak di depan
kendaraanmu dari pada saya kecuali kamu jadikan hal itu untukku “. Orang itu
berkata : Saya telah menjadikannya untukmu, maka beliau pun mengendarainya”. [HR. At-Tirmidzi (2773) dan dia berkata : "hadits
hasan gharib dari sisi ini". Dan Abu Daud (2573) Al-Albani berkata :
"hadits hasan shahih”]
6. Bolehnya Membonceng Kendaraan Apabila Tidak Memberatkan Kendaraan
Tersebut:
Diantara adab
berkendaraan adalah tidak mengapa dua atau tiga orang berkendaraan pada satu
kendaraan selama suatu kendaraan mampu untuk itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam membonceng sebagian sahabat beliau seperti Mu’adz [Al-Bukhari (2856)
Muslim (30)] Usamah [Al-Bukhari (1670) Musllim (1280)] Al-Fadhl [Al-Bukhari
(1513) Muslim (1334)] demikian pula beliau membonceng Abdullah bin Ja’far dan
Al-Hasan atau Al-Husain bersamaan [Muslim (2428) dan Ahmad (1744)] dan selain
dari mereka, radhiallahu ‘anil jamii’. (5)
7. Makruhnya Menjadikan kendaraan Sebagai Mimbar:
Berkaitan dengan
masalah ini diterangkan didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau
berkata, “Janganlah
kalian menjadikan punggung-punggung hewan tunggangan kalian sebagai
mimbar-mimbar karena Allah memudahkannya untuk kalian hanya untuk membawa
kalian kepada negeri yang belum pernah kalian capai kecuali dengan bersusah
payah. Dan Allah telah menjadikan untuk kalian bumi maka di atasnyalah
hendaknya kalian menunaikan hajat kalian”.
[HR. Abu Daud (2567) dan Al-Albani menshahihkannya]
Maknanya :
Janganlah kalian duduk di punggung-punggung hewan kendaraan dan kalian berhenti
dan kalian berbicara satu sama lain ketika berjual beli dan selainnya bahkan
turunlah dan tunaikanlah hajat kalian kemudian tunggangilah setelah itu.
Sebagimana perkataan Al-Qariy. [‘Aun Al-Ma'bud : jilid 4 (7/169)]
Dan janganlah
seseorang menyamarkan masalah tersebut dengan dalih berhentinya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas hewan tunggangan beliau ketika hajjatul
wada’, karena hal itu untuk suatu mashlahat yang kuat dan hal tersebut tidak
terulang-ulang.
Ibnul Qayyim
berkata : “Adapun
berhentinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas hewan tunggangan
beliau ketika hajjatul wada’ dan beliau khutbah di atasnya, maka hal tersebut
bukan termasuk yang terlarang, karena hal tersebut terjadi karena adanya
mashlahat umum pada satu waktu, dan tidak terjadi terus menerus, dan hewan
tunggang pun tidak merasa capek dan berat sebagaimana didapatkan kepada orang
yang terbiasa dengan hal tersebut bukan dalam rangka ke mashlahat. Bahkan
mereka menjadikannya tempat untuk tinggal dan tempat duduk yang mana seseorang
bermunajat di atasnya, dan tidak turun ke tanah. Hal itu sering terulang dan
berlangsung lama, berbeda dengan khutbah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas hewan tunggangan beliau agar manusia dapat mendengarkan khutbah beliau,
dan mengajarkan mereka perkara islam dan hukum-hukum manasik, maka hal tersebut
tidak lah terulang dan tidak berlangsung lama dan mashlahatnya dapat dirasakan
seluruh manusia. [Aunul Ma'bud : jilid 4
(7/167)]
Faedah : (Mobil)
tidak dianggap hewan tunggangan dari sisi lamanya orang duduk di atasnya dan
berbicara dengan yang lainnya, karena mobil tersebut tidak mengalami keberatan
dan kecapaian, akan tetapi sepatutnya menjaga kendaraan lainnya pengguna jalan,
karena mengganggu mereka adalah perkara yang haram dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mereka yang menyakiti kaum
mukminin laki-laki maupun wanita tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sungguh mereka telah menanggung kedustan dan dosa yang jelas.“ (Al-Ahzab : 58 ).
footnoote
1.
Takakaffi : condong ke depan sebagaimana condongnya perahu layar ketika
berlayar. (Lisan Al-’Arab : 1/141-142)
2.
As-Shabab : Tashawwubi nahru aw thariq yaitu berada di hudur. Dan di dalam
sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : adalah beliau turun di shabab
yaitu ke tempat yang rendah, dan Ibnu Abbas berkata : yang beliau maksudnya
adalah bahwa beliau kuat badannya, maka apabila beliau berjalan seakan-akan
beliau berjalan di atas bagian depan kakinya karena kuatnya. (Lisan Al-’Arab :
1/517).
3.
Taqla’ ketika berjalan : berjalan seakan-akan turun ke bawah…..ada yang
mengatakan : maksudnya kekuatan berjalan dan bahwa beliau mengangkat kedua
kakinya dari tanah apabila beliau berjalan dengan menganggkat yang jauh
disertai kekuatan, tidak seperti orang yang berjalan dengan sombong dan
bernikmat-nikmat dan langkahnya saling berdekatan karena hal itu termasuk
jalannya wanita mereka disifatkan dengan hal itu….(Lisan Al-’Arab : 8/290)
4.
Sebagiannya pembahasan telah berlalu di dalam kitab adab berpakaian dan
berhias, maka tidak perlu kami ulang lagi.
5.
Dalam perkara ini adanya dalil bahwa membebani kendaraan yang kendaraan
tersebut tidak mampu termasuk perbuatan zhalim, bahkan dapat membawa kepada
membinasakan kendaraan. Dan pada perkara tersebut adanya isyarat untuk
mengetahui sesuatu dengan perasaan, yaitu bahwa membebankan alat kendaraan di
atas kemampuannya dan bebannya yang telah ditetapkan dari pembuatnya dapat
membahayakan kendaraan tersebut dan menyebabkan kerusakan.
(Diterjemahkan
dari kitab Al-Adab karya Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub)
No comments:
Post a Comment