Ada seorang kawan saya kata apabila kita buat sesuatu amalan agama maka kita janganlah mengharapkan pahala. Niat kita hendaklah semata-mata kerana Allah s.w.t. Begitulah pendapat sahabat saya apabila kita melakukan sesuatu amalan. Bagi pendapat saya yang hina ini, setiap amalan memanglah kita niat semata-mata kerana Allah sw.t. sepertimana Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak memandang tubuhmu dan bentuk rupamu, tetapi Dia memandang hatimu." (Muslim - At-Targhib).
Rasulullah saw. pernah ditanya mengenai erti iman, beliau menjawab, "Artinya ikhlas." Di dalam kitab At-Targhib banyak
ditulis riwayat tentang ikhlas, sebagaimana disebutkan dalam suatu
riwayat, bahwa ketika Mu'adz r.a. diutus ke Yaman sebagai hakim, ia
meminta nasihat kepada Nabi saw.. Kemudian beliau bersabda, "Dalam
setiap amalmu, jagalah keikhlasan, karena dengan keikhlasan, walaupun
amal itu sedikit akan mencukupi." Hadits lainnya menyebutkan, "Allah
hanya akan menerima amal seorang hamba-Nya yang dilandasi dengan
keikhlasan." Sebuah hadits Qudsi menyebutkan:
"Akulah
Yang Mahakaya dari seluruh sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu
perbuatan yang menyekutukan-Ku, akan Aku serahkan ia kepada sekutunya."
Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku terlepas darinya, dan baginya apa
yang ia lakukan." (Muslim - Misykat).
Sebuah hadits menyebutkan, "Pada hari Kiamat akan terdengar pengumuman di padang
Mahsyar, 'Barangsiapa yang menyekutukan Allah dalam amalannya,
hendaklah ia menuntut pahala dari sekutu itu, karena Allah tidak
menghendaki satu sekutu pun bagi-Nya.'" Sebuah hadits lain menyebutkan:
"Barangsiapa
shalat karena riya (ingin dilihat orang lain), sungguh ia telah syirik.
Barangsiapa berpuasa karena riya, sungguh ia telah syirik. Dan
barangsiapa bersedekah karena riya, sungguh ia pun telah syirik." (Ahmad
- Misykat).
Apabila
seseorang beramal tanpa keikhlasan, yakni bukan semata-mata kerana
Allah tetapi berniat memamerkannya agar dihargai oleh manusia, secara
tidak langsung ia telah menyekutukan Allah, sehingga seluruh amalnya
tidak akan diterima oleh Allah swt.. Amal itu hanya akan sampai kepada
orang yang ia harapkan pujian dan penghargaannya. Sebuah hadits
berbunyi:
"Sesungguhnya
orang yang pertama akan diadili pada hari Kiamat adalah orang yang
telah mati syahid, ia akan dihadapkan kepada Allah. Maka Allah
memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengakui kenikmatan itu. Allah
bertanya, "Apa yang kamu perbuat dengannya? Ia menjawab, "Aku berperang
karena-Mu sehingga aku mati syahid." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu
berperang karena ingin disebut pahlawan, dan itu telah kamu dapatkan."
Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir kemudian
dicampakkan ke neraka. Kemudian seseorang yang belajar dan mengajar
ilmu agama dan suka membaca Al-Quran dihadapkan kepada Allah, maka Allah
memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengenal nikmat tersebut.
Allah bertanya, "Apa yang kamu perbuat dengannya?" Jawabnya, "Aku
belajar dan mengajar ilmu dan membaca Al-Quran karena Engkau." Allah
berfirman, "Kamu dusta! Kamu belajar dan mengajar agar disebut ulama,
dan kamu membaca Al-Quran agar disebut qari, dan itu telah kamu
dapatkan." Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir
lalu dicampakkan ke neraka. Dan terakhir adalah seseorang yang
dikaruniai kekayaan oleh Allah. Maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya
dan ia pun mengenal kenikmatan itu. Lalu Allah bertanya, "Apa yang
telah kamu perbuat dengan kekayaanmu itu?" Ia menjawab, "Aku tidak
membiarkan satu jalan pun yang patut diberi infak kecuali aku infakkan
hartaku karena Engkau." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu berbuat
demikian agar disebut dermawan dan kamu telah mendapatkannya!" Maka
diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir lalu dicampakkan
ke neraka." (Muslim - Misykat).
Memang tidak dinafikan untuk melakukan sesuatu amalan hendaklah semata-mata kerana Allah s.w.t. Tapi, itu tidak cukup sebenarnya. Kita hendaklah melakukan sesuatu amalan semata-mata kerana Allah s.w.t. dan mengharap ganjaran atau janji-janji daripada Allah s.w.t. Jika orang tanya mengapa kamu solat. Kita jawab bahawa aku solat semata-mata kerana Allah s.w.t. Perkara itu betul. Jawapan yang tepat ialah aku solat semata-mata kerana Allah s.w.t. dan mengharap ganjaran atau janji-janji dari Allah s.w.t.
Ada satu hadisth berbunyi seperti berikut: “Barang siapa yang berpuasa atas dasar iman dan ihtisab, hanya
ingin mendapatkan balasan dari Allah, maka ia diampuni dosa-dosa yang
telah lalu” (HR. Bukhari Muslim)
Dari hadits di atas, dapat dilihat bahwa ganjaran dari seorang yang
berpuasa adalah pengampunan dosa-dosanya yang telah lalu oleh Allah swt.
Namun disini, Rasulullah menyatakan bahwa dasar dari puasa yang
dilakukan oleh seorang yang ingin mendapatkan ganjaran tersebut, adalah
iman dan ihtisab.
Selain itu, nampaklah bahwa iman merupakan asas dipasangnya niat yang disertai dengan ‘ihtisab’
sebagai proses penelitian bahkan menguji diri sendiri sehingga kualiti
niat berpuasa akan melahirkan dua perkara besar yang akan merubah sikap
hidupnya.
PERTAMA :
Niat berpuasa kerana rasa cinta dan rindu yang teramat sangat untuk menghadirkan wajah Allah sehingga mereka hanya memalingkan seluruh harapan dan tindakannya untuk sentiasa berpihak di jalan Allah (Al Shirath Al Mustaqiim).
KEDUA :
Mereka mewujudkan niatnya tersebut dalam bentuk sikap hidup sederhana bahkan melatih untuk hidup dengan penuh kekurangan, sebagaimana doa Rasulullah saw : "... Ya Allah, jadikanlah aku kenyang sehari dan lapar sehari agar pada saat perut kenyang, aku mahu bersyukur dan ketika lapar, aku menjadi orang yang sabar."
Kita juga dapat memahami dari hadith di atas bahwa janji untuk mendapat keampunan hanyalah bagi siapa sahaja yang melaksanakan puasa dengan "imanan wahtisaban" iaitu :
PERTAMA :
Niat berpuasa kerana rasa cinta dan rindu yang teramat sangat untuk menghadirkan wajah Allah sehingga mereka hanya memalingkan seluruh harapan dan tindakannya untuk sentiasa berpihak di jalan Allah (Al Shirath Al Mustaqiim).
KEDUA :
Mereka mewujudkan niatnya tersebut dalam bentuk sikap hidup sederhana bahkan melatih untuk hidup dengan penuh kekurangan, sebagaimana doa Rasulullah saw : "... Ya Allah, jadikanlah aku kenyang sehari dan lapar sehari agar pada saat perut kenyang, aku mahu bersyukur dan ketika lapar, aku menjadi orang yang sabar."
Kita juga dapat memahami dari hadith di atas bahwa janji untuk mendapat keampunan hanyalah bagi siapa sahaja yang melaksanakan puasa dengan "imanan wahtisaban" iaitu :
- Iman.
- Niat mengharapkan ganjaran pahala.
Maksudnya
adalah setiap orang hendaklah mempersiapkan dirinya dengan beriman dan
berharap atau memohon pahala dari Allah swt dan ridhaNya dalam
melaksanakan amal-amal soleh di bulan Ramadhan.
Oleh kerana itulah, setiap orang yang beriman hendaklah meletakkan setiap langkah dan aktivitinya dengan "iman" dan "ihtisab" kerana dengan kedua perkara tersebut niscaya segala langkah dan aktiviti serta ibadahnya akan diterima dan mendapat pahala dari Allah swt serta ganjaran yang berlipat kali ganda.
Banyak lagi ayat-ayat lain yang menyebutkan bahwa segala perbuatan yang berlandaskan iman maka akan diterima oleh Allah swt dan diberi ganjaran yang lebih baik.
Sementara itu, segala perbuatan yang tidak berlandaskan iman, maka tidak akan bermanfaat di sisi Allah swt walau sebaik apapun dan sebesar manapun perbuatan yang dilakukannya, ibarat fatamorgana yang ternampak dari kejauhan seperti air, namun ketika di hampiri, ianya kosong dan tiada apa-apa.
Allah swt berfirman :
"Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah swt di sisinya, lalu Allah swt memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah swt adalah sangat cepat perhitungan Nya". (QS An-Nuur : 39)
Oleh kerana itulah, setiap orang yang beriman hendaklah meletakkan setiap langkah dan aktivitinya dengan "iman" dan "ihtisab" kerana dengan kedua perkara tersebut niscaya segala langkah dan aktiviti serta ibadahnya akan diterima dan mendapat pahala dari Allah swt serta ganjaran yang berlipat kali ganda.
Banyak lagi ayat-ayat lain yang menyebutkan bahwa segala perbuatan yang berlandaskan iman maka akan diterima oleh Allah swt dan diberi ganjaran yang lebih baik.
Sementara itu, segala perbuatan yang tidak berlandaskan iman, maka tidak akan bermanfaat di sisi Allah swt walau sebaik apapun dan sebesar manapun perbuatan yang dilakukannya, ibarat fatamorgana yang ternampak dari kejauhan seperti air, namun ketika di hampiri, ianya kosong dan tiada apa-apa.
Allah swt berfirman :
"Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah swt di sisinya, lalu Allah swt memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah swt adalah sangat cepat perhitungan Nya". (QS An-Nuur : 39)
Pandangan ulama tentang iman dan ihtisab
Ibnu Hajar menyatakan bahwa keimanan
dalam hadisth di atas adalah meyakini bahwa puasa yang dijalaninya adalah
puasa wajib (fardhu), sedangkan ihtisab dalam hadis tersebut bermakna
semata-mata mencari pahala dari Allah SWT.
Al-Khattabi menyatakan bahwa ihtisab
adalah 'azimah, yaitu bahwa seseorang menjalani puasa ramadhan dengan
dalam ertinya karena tertarik dengan pahalanya, dirinya menjadi baik
karenanya, sehingga puasanya tidak menjadi sesuatu yang dianggap
memberatkan dirinya, dan tidak memandang begitu lama hari-hari puasa
ramadhan".
Apakah yang dimaksudkan dengan iman secara umum?
Menurut pengertian bahasa, iman berarti percaya dan yakin, sedangkan
menurut pengertian syariat, iman adalah keyakinan dalam hati yang
diucapkan atau dilafadzkan dengan lisan, dan diaplikasikan dengan amal
perbuatan. Allah swt menjelaskan dalam Al Quran ciri-ciri mukmin yang
sebenar-benarnya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-
ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang
yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang
Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di
sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (ni’mat) yang mulia. ” (QS. Al Anfaal : 2-4)
Dari ayat di atas, tingkatan tertinggi dari keimanan seseorang, oleh Allah swt diciri-cirikan dengan:
- Bergetar hatinya saat mendengar asma Allah disebutkan.
- Bertambah keimanannya bila dibacakan ayat-ayat Allah.
- Selalu Bertawakkal.
- Menunaikan Shalat dan Menafkahkan rezekinya di jalan Allah.
Apakah yang dimaksudkan dengan ihtisab secara umum?
Ihtisab bererti dia akan menyerahkan diri kepada Allah swt atas segala perbuatan dan berharap kepada Allah swt Maha Pemberi pahala, ganjaran dan ridha untuk memberikan balasan yang setimpal dan berlipat kali ganda.Selain itu, Ihtisab bererti hitungan, koreksi, penilaian.
Jika kita kaji
berdasarkan hadits Rasulullah saw, makna dari ihtisab adalah suatu
koreksi diri dan penilaian sendiri pada amal kita selama Ramadhan,
apakah amalan itu akan mendapatkan ridho dari Allah swt. Sehingga
ihtisab akan membawa pada pengharapan terhadap redha Allah swt.
Kesimpulannya ialah kita hendaklah melakukan sesuatu amalan dengan iman dan ihtisab semata-mata kerana Allah s.w.t. Insya Allah...
No comments:
Post a Comment